Mengenang 28 tahun Wafatnya Buya Hamka






Penulis : ABDUL CHAIR

28 Tahun lalu, tepatnya 24 Juli1981 Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan nama Hamka wafat dalam usia 73 tahun. Hamka lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minang, Desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat.

Dalam tradisi Minang dia bergelar “Datuk Indomo” yang berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang diambil dari kakek daripada ibunya Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, penghulu suku Tanjung.Silsilah keluarga HamkaAmrullah adalah kakek Hamka lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M).

Beliau merupakan keturunan dari seorang ulama terkenal asal Nagari Danau Maninjau bernama Abdullah Saleh murid dari TuankuPariamanPanglimaPerang Tuanku Imam Bonjol. Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul yang lebih dikenal dengan Haji Rasul yang terlahir pada 17 Safar 1296 H / 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Luhak Agam, Sumatera Barat.




Haji Rasul adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Saat berusia 17 tahun, dia dibawa ke Makkah untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama di tanah suci. Pada tahun 1941 Haji Rasul ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada masa itu.

Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya, Muara Pauh-Sungai Batang, Maninjau.

Pengasuhan – pembelajaran

Di masa kecilnya Hamka yang biasa dipanggil Malik, hidup di kampung bersama ayah bundanya. Dia merupakan anak kesayangan Haji Rasul karena sebagai anak lelaki tertua dan menjadi tumpuan untuk melanjutkan kepemimpinan umat.

Masa kecilnyapun didera dengan penderitaan yang diawali dengan perceraian ayahnya Haji Rasul dengan Syafiah (ibu Hamka). Syeikh Abdul Karim cenderung keras dalam mendidik anak-anaknya, sehingga tidak begitu berkenan bagi Hamka.

Hamka gemar mengikuti kajian agama di masjid dan surau-surau. Saat itulah Hamka mulai mengenal dan belajar dari lama- lama seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.

Hamka yang otodidak tidak pernah puas menggali ilmu di berbagai bisang seperti filsafat, sastra, sosiologi hingga politik. Proses belajar otodidak sangat ditunjang dengan kemampuannya dalam bahasa, terutama bahasa Arab yang sangat mampu menyelidiki karya ulama dan pujangga besar dari Timur Tengah dan barat.

Kesungguhan Hamka dalam belajar telah menjadikannya sebagai seorang yang pandai dalam banyak hal serta mampu pula menumbuhkan bakatnya sebagai seorang ahli pidato.

Pada 1927 Hamka pergi tanpa pamit kepada ayahnya setelah dua tahun di kampung halaman untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan Islam pada ulama-ulama di sana. Dia pergi dari rumah sebagai jawaban atas kritikan ayahnya yang menilainya belum punya cukup ilmu agama.

Di Makkah dia berjumpa dengan H. Agus Salim tokoh Muhammadiyah yang menyarankan agar ia segera pulang ke Tanah Air. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Makkah. Dia tidak pulang ke kampungnya Padang Panjang malah menetap di Medan.

Keputusannya tidak pulang ke Padang Panjang menuai kecaman. Orang-orang di kampungnya memintanya pulang. Namun Hamka membangkang. Hal ini pun diadukan kepada Haji Rasul. Ulama tua ini pun tak kalah cerdik, dia mengirim A.R.Sutan Mansur untuk menjemputnya.
Hamka luluh dan pulang kekampung serta diterima ayahnya dengan rasa haru yang dalam. Haji Rasul berkata : “Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu ?Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Namun kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.” Mendapat sambutan seperti itu Hamka berurai air mata. Sambutan dari seorang ayah yang begitu jauh dari masa mudanya yang kerap disebut ayahnya sebagai Si Bujang Jauh. Hapuslah figur seorang ayah yang keras dan dingin. Hubungan yang penuh warna inilah yang kelak melahirkan sebuah karya yang diberi judul “Ayahku” sebagai karya apresiatif dan symbol cintanya pada sang Ayah.

Pada 1929, saat berusia 21 tahun Hamka dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Raham. Karir dan kebesaranHamka pernah menjadi guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebingtinggi, Medan, Sumatera Utara dan di Pa dang Panjang pada 1929. Hamka juga adalah wartawan surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan SeruanMuhammadiyah.

Padatahun1928, dia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat dan sebagai editor majalah Pedoman Masyarakat dan Panji Masyarakat. Hamka menghasilkan puluhan novel serta tulisan ilmiah lainnya. Di antaranya ‘’Di Bawah Lindungan Ka’bah’’, ‘’Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’’, ‘’Merantau Ke Deli’’, ‘’TasawufModeren’’, ‘’SejarahUmat Islam’’, ‘’Tafsir Al-Azhar’’ dan lain-lain.

Tahun1928 terbitlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau “Si Sabariyah” dan ia pun memimpin majalah Kemauan Zaman yang terbit hanya beberapa nomor.

1929 terbit pula bukubukunya yang lain; Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau”, “AgamaIslam”(buku ini disita polisi penjajah karena dianggap berbahaya bagi pemerintah jajahan), “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj”, dan berbagai karya lainnya.

Karya-karyanya mendapat apresiasi luas, karena Hamka memiliki kualitas tersendiri. Novel ‘’Laila Majnun’’ menjadi tonggak kepujanggaannya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Banyak karyanya yang kemudian diterbitkan Balai Pustaka, sehingga Hamka tercatat sebagai pujangga angkatan Balai Pustaka.

Aktivitas Hamka dalam bidang politik bermula sejak masih muda, saat menjadi anggota Partai Sarekat Islam tahun 1925. Hamka juga ikut bergerilya masuk hutan. Hamka juga aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan rajin mengikuti pengajian yang diberikan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah seperti K.H.Mochtar, K.H.Fachruddin, dan lain-lain.

Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi Konsul Muhammadiyah di Makasar. Tahun 1946 beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat.

Gerakan politik Hamka semakin jelas ketika menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), usai pemilihan umum tahun 1955. Pada masa inilah pemikiran Hamka sering bergesekan dengan kebijakan politik penguasa dan ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante. Presiden Soekarno ikut menentangnya dan kemudian membekukan Masyumi. Sejak itulah hubungan antara Hamka dan Soekarno menjadi renggang.

Tahun 1959, Hamka dituduh Soekarno tidak mendukung konfrontasi dengan Malaysia, sehingga Hamka sempat mendekam dalam tahanan. Walau demikian Hamka tidak dendam. Ketika Soekarno wafat, justru Hamka yang menjadi imam shalatnya, karena di matanya, Soekarno adalah muslim.

Tahun1978,Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah tentang keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang meniadakan libur sekolah selama puasa Ramadan. Selain itu Hamka tidak mau mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama pada tahun 1980 atas permintaan Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara. Sikap keras Hamka ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, Hamka meminta Alamsyah untuk mengurungkannya dan Hamka yang justru mundur sebagai Ketua MUI.

Sebagai orang yang memiliki ilmu dan kebesaran pribadi Hamka digelari “Tuanku Syaikh”.

Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhriyyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959.

Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia.Hari-hari terakhir hidupnya, Hamka lebih banyak memberikan ceramah di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Pada tanggal 24 Juli 1981, pujangga, pejuang, dan lama ini wafat. Hamka tak pernah hilang dari sejarah umat Islam dunia. Pemikirannya menjadi referensi yang tidak pernah berhenti dalam berbagai masalah kemasyarakatan. (Dikutip Dari berbagai sumber).

Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Studi Antropologi Sosial Pascasarjana Unimed, Dosen STAIS Tebingtinggi Deli Kota Tebingtinggi dan guru Perg. Al Iitihadiyah Percut.

2 komentar:

  1. tokoh yang patut ditiru generasi muda kita. orang yang tekun dalam mempelajari islam dan mengamalkan nya dengan sungguh. banyak menulis buku yang tentu banyak sekali manfaatnya

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum, seorang teman dari Arizona State University sedang menulis buku tentang Buya Hamka, apakah anda memiliki foto-foto asli tentang Buya Hamka?

    BalasHapus