Buya HAMKA: Komitmen Menegakkan Risalah Kebenaran

.
“Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!’’ Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang.

Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan ‘Haji Rasul’ itu, tentu saja menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi ‘menyembah matahari’ itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risikonya.

Tapi, demi keyakinan terhadap nilai ‘akidah’, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara.

Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya.

Dan, layaknya seorang anak muda yang gelisah dan didukung kebiasaan orang Minangkabau yang suka merantau, Hamka sejak usia sangat belia sudah seringkali meninggalkan rumah. Pada umur 16 tahun misalnya, ia sudah pergi ke Yogyakarta untuk menimba ilmu dari berbagai tokoh pergerakan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, H Oemar Said Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhruddin.

Kursus-kursus para tokoh pergerakan yang diadakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta, untuk beberapa lama diikutinya. Alhasil, jiwa pergerakannya menjadi tumbuh semakin kuat, apalagi setelah ia tinggal di rumah iparnya yang menjadi ketua cabang Persyarikatan Muhammadiyah, A.R Mansur di Pekalongan. Di situlah Hamka mendapat ‘udara’ pengalaman pertamanya di dalam mengurus keorganisasian.

Setelah beberapa lama tinggal bersama iparnya, pada Juli 1925, Hamka pulang kampung ke Sumatera Barat. Ia kembali ke rumah ayahnya yang berada di Gatangan, Padangpanjang. Disitulah ia kemudian mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah. Semenjak itulah sejarah kiprah Hamka dalam organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu dimulai. Dan baru berakhir beberapa puluh tahun ke depan sebelum ia wafat.

Berhaji Sembari Mencari Ilmu ke Mekah

Setelah sekitar dua tahun berkiprah di kampung halamannya, pada Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergiannya itu juga dimanfaatkan untuk menimba ilmu dengan tinggal di sana selama setengah tahun. Sembari mengkaji ilmu agama ke berbagai tokoh keagamaan Islam yang mengajar di Baitul Haram, untuk mencukupi biaya hidup sehari-harinya, Hamka bekerja pada sebuah percetakan. Ia baru pulang ke tanah air sekitar bulan Juni 1927 dan langsung menuju ke Medan. Di sana ia kemudian pergi ke daerah perkebunan yang ada di sekitar wilayah pantai timur Sumatera (Deli) untuk menjadi guru agama. Pekerjaan ini dilakoninya sekitar lima bulan. Pada akhir tahun 1927, ia baru sampai kembali ke kampung halamannya di Padangpanjang.

Keterlibatannya dalam organisasi Muhammadiyah semakin intens ketika pada tahun 1928 ia diundang menjadi peserta kongres Muhammadiyah yang diselenggarakan di Solo. Dan setelah pulang, karirnya di persyarikatan semakin gemilang. Hamka secara berangsur memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian Ketua Majelis Tabligh, sampai akhirnya meraih jabatan Ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Bahkan, pada tahun 1930 ia mendapat tugas khusus dari pengurus pusat persyarikatan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis. Hamka di sini sudah mulai diakui eksistensinya.

Usai mendirikan cabang di Bengkalis, pada 1931 Pengurus Pusat Muhammadiyah mengutus Hamka pergi ke Makassar. Tugas yang harus diembannya adalah menjadi mubalig dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 yang diselenggarakan pada Mei 1932. Hamka tinggal di sana selama dua tahun. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang untuk kemudian diangkat menjadi Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.

Berdakwah di atas Gagasan Roman

Kiprah Hamka dalam pergerakan semakin gencar setelah ia pindah ke Medan, pada 22 Januari 1936. Persyarikatan Muhammadiyah semakin meluas ke segenap wilayah Sumatera bagian timur. Pada sisi lain, secara perlahan tapi pasti kemampuan intelektual dan kepenulisannya juga semakin terasah, terutama setelah ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Berbagai artikel keagamaan serta cerita pendek ditulisnya dengan bahasa dan logika yang demikian jernih. Bakat menulisnya sebagai sastrawan serius pada dekade ini juga berkembang secara simultan dengan kemampuan orasinya yang amat memukau.

Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti: Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940, kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur.

Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang ‘berpretensi negatif’ terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan ‘tasawuf positip’ yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran.

Kemudian, pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut karena pindah ke Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.

Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa.

Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain; Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.

Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka sempat menulis biografi ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai ‘Si Bujang Jauh’ karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.

Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan minat dalam bidang sastera dan kehidupan umat secara keseluruhan.

Sama halnya dengan kepulangan haji pertamanya, sekembalinya dari lawatannya ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagum-kagum pada beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi.

Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi berbagai tempat, seperti negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama. Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia.

Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu.
Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia.

Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia. Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya memberikan gelar, dalam pidatonya sang perdana menteri itu berkata bahwa,’’Hamka bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”

Menapak di antara Dua Orde

Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.

Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam.

Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun. Majalah Panji Masyarakat dibubarkan oleh pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita.’ Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta.

Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil orang ‘’menguasai’’ sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri, di mana harus ada ‘persamaan’ pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung Hatta, a priori harus ditolak.

Panasnya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada Hamka. Jaringan kelompok ‘politik kiri’ membuat tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus Amir Hamzah dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik.

Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara. Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis, sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap sebagai orang berbahaya.

Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz). ’’Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan,’’ kata Hamka ketika menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya.

Menjadi Imam dalam Shalat Jenazahnya Bung Karno

Seperti sunnatullah, bahwa penguasa itu datang dan pergi silih berganti, maka setelah naiknya Presiden Soeharto dalam tampuk kekuasaan negara, secara perlahan kondisi fisik presiden Soekarno setelah itu pun terus menyurut. Berbeda dengan ketika berkuasa, hari-hari terakhir Panglima Besar Revolusi ini berlangsung dengan pahit. Soekarno tersingkir dari kehidupan ramai sehari-hari. Ia terasing dengan kondisi sakit yang akut di rumahnya. Soekarno terkena tahanan kota. Ia tidak diperbolehkan menerima tamu dan bepergian. Pada tahun 1971 Soekarno pun meninggal dunia.

Mendengar Soekarno meninggal, maka Hamka pun pergi untuk bertakziah. Tidak cukup dengan itu, Hamka kemudian mengimami shalat jenazah mantan presiden pertama itu. Pada saat itu orang sempat terkejut dan bingung ketika Hamka bersedia hadir dalam acara tersebut. Mereka tahu Soekarno-lah dahulu yang memutuskan untuk memasukkannya dalam penjara. ‘’Saya sudah memaafkannya. Dibalik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu banyak jasanya,’’ kata Hamka.

Setelah itu, masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto bergerak semakin cepat. Hamka semakin dalam menceburkan diri ke berbagai aktivitas keagamaan. Secara rutin ia berceramah ke berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri. Setiap pagi sehabis Subuh siraman rohaninya yang disiarkan secara nasional melalui RRI terdengar ke berbagai penjuru pelosok tanah air. Dengan suara khas serak-serak basahnya, Hamka membahas berbagai soal kehidupan, mulai tingkat sangat sepele seperti cara bersuci yang benar sampai kepada persoalan sangat serius, misalnya soal tasawuf. Saking banyaknya penggemar, maka ceramahnya pun banyak diperjualbelikan dalam bentuk rekaman di tokok-toko kaset.

Pada tahun 1975, Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi, bila itu diterima maka ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Namun, Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI dari pada berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti ‘kue bika’, yakni bila MUI terpanggang dari ‘atas’ (pemerintah) dan ‘bawah’ (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa akan mengalami kemunduran serius.

Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika pada awal dekader 80-an, lembaga ini ‘berani melawan arus’ dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Hamka menyatakan ‘haram’ bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik. Apalagi terasa waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah.

Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Hamka yang waktu itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981.

Bagi pengamat politik, sikap tegas Hamka ketika memimpin MUI adalah merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, mereka pun mengatakan sepeninggal Hamka, kemandirian lembaga ini semakin sulit. Demi melanggengkan hegemoni Orde Baru kemudian terbukti melakukan pelemahan institusi keagamaan secara habis-habisan itu. Fatwa MUI sepeninggal dia terasa menjadi tidak lagi menggigit. Posisi lembaga ini semakin lemah dan terkesan hanya sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah terhadap umat Islam belaka.

Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.

Rujukan:

1. Berbagai artikel mengenai kajian Islam di berbagai media massa, seperti Media Indonesia, Republika, dan Kompas.
2. Enskilopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru van Hoeve 1982.
3. Enskilopedia Indonesia, PT Ichtiar Baru van Hoeve, tahun 1983
4. Kaset ceramah Hamka di RRI Jakarta, Keajabaian Hati, 1985
5. Tafsir Al-Azhar, Hamka, 1990.
6. Data-data penunjang lainnya dari internet.

sumber : Artikel Center For Moderate Muslim Indonesia

1 komentar: