HAMKA, Ulama, Politikus dan Satrawan



Dalam episode sejarah umat Islam Indonesia, banyak tokoh-tokoh penting yang mempunyai andil besar dalam mewarnai Indonesia dengan nuansa Islam. Mereka memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. Diantaranya yang tak mungkin diabaikan adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih lekat dengan sebutan HAMKA.

HAMKA, tidak hanya dikenal karena kedalaman pemahaman agamnya, tapi juga karena ia mampu memberi tafsir lain terhadap berbagai persoalan keagamaan. Ia mampu memberi legitimasi terhadap persoalan-persoalan yang
masih simpang siur. HAMKA dilahirkan di maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908. Ayahnya bernama H. Abdul Karim Amrullah. Seorang tokoh gerakan Islam kaum muda Minangkabau. Setelah menunaikan ibadah haji, gelar religius itu diletakan di depan nama aslinya. Jadilah ia bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Sejak usia muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang pengelana. bahkan ayahnya memberi gelar si bujang jauh. Pada usia 16 tahun, ia merantau ke pulau Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjikroaminoto, KI Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto dan KH Fakhrudin. Saat itu HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualam, Yogjakarta. Pada1927, HAMKA berangkat ke Medan untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama enam bulan.

Sepulangnya dari Tanah Suci, ia menjadi guru mengaji di kampung halamannya. Pada tahun 1936, HAMKA menuju Medan dan terjun dalam gerakan Muhammadiyah Sumatra Timur. Di kota inilah HAMKA memimpin majalah Pedoman Masyarakat.

Sejak perjanjian Roem-Royen pada tahun 194, ia pindah ke Jakarta dan memulai karirnya sebagai pegawai di Departemen agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Bersamaan dengan itu pula HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi di Tanah Air.

Pada tahun 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Kesempatan ini dipergunakannya untuk bertemu dengan tokoh dan pengarang Mesir yang sudah lama dikenalnya. Saat itu HAMKA sempat bertemu dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulang dari lawatan tersebut, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Dilembah sungai Nil, dan Di tepi sungai Dajlah. Sebelum meyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman-roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya kapal Van Der Wijc, Merantau ke Deli dan Di Dalam Lembah Kehidupan.

Sebagai ulama yang berkiprah saat berjuang, HAMKA tidak luput dari keterlibatannya dengan dunia politik. Tercatat ia pernah menjadi anggota Konstituante hasil pemilihan umum pertama tahun 1955 dari Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung, HAMKA menyampaikan pidato penolakan terhadap gagasan Bung Karno untuk menerapkan sistem Demokrasi terpimpin.

Sebagai seorang pejuang kebenaran, HAMKA pernah merasakan berada di balik teralis besi, yaitu pada taun 1964. Saat itu ia ditangkap oleh rezim Orde Lama. Justru dibalik tembok penjara ini, prestasi intelektual HAMKA mencapai puncaknya dengan menyelesaikan magnum opusnya, tafsir QurĂ¢an An Nur sebanyak 30 zus.

Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, ia memilih aktif di bidang dakwah Islamiyah. HAMKA pernah menjadi Imam Masjid Agung Al Azhar Kebayoran, Jakarta.

Bersama KH Faqih Umar (Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo 1952), HAMKA mendirikan majalah bulanan Panji masyarakat yang isinya meniikberatkan kepada sola-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam.

HAMKA juga menjadi ketua umum pertama MUI. Panji Masyarakat pernah diredel pada masa Soekarno. Pembredelan ini disebabkan Panji Masyarakat memuat tulisan Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita yang berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan oleh Bung Karno. Majalah ini sempat bangkit kembali setelah Orde Lama rontok dan HAMKA menjadi pemimpin umumnya sampai akhir hayatnya, 24 Juli 1981, Panji Masyarakat kembali menghilang.

Sepanjang hidupnya, HAMKA terkenal sebagai ulama yang produktif menulis. Tidak kurang dari 118 buku telah diselesaikannya. Jumlah itu belum termasuk karangan, makalah dan artikel yang ditulisnya untuk berbagai media massa. Selain itu, HAMKA juga memperoleh beberapa anugerah Doktor Honoris Causa , seperti dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir dan Universiti kebangsaan Malaysia.

Salah seorang pengagum HAMKA, mantan perdana menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengungkapkan, HAMKA bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.

sumber : artikel PK Sejahtera Jak-Sel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar